Letaknya di tengah laut di perairan Selat Sunda, serta asal usul
terbentuknya menjadikan Gunung Anak Krakatau terlihat berbeda dan
istimewa dari gunung-gunung lainnya. Hal itu pula yang membuat saya
tertarik untuk melakukan perjalanan ke sana.
Pagi itu Minggu, (24/2/2013) sebelum matahari terbit kami harus segera
bangun untuk mempersiapkan diri melakukan perjalanan dari Pulau Sebesi
tempat kami bermalam menuju Gunung Anak Krakatau. Waktu belum
menunjukkan pukul 04.00 WIB semua anggota rombongan sudah berada di
dalam kapal dan siap mengarungi lautan. Angin berhembus kencang, lautan
masih terlihat gelap, suasana di dalam kapal pun sunyi, sebagian dari
kami memilih melanjutkan tidurnya. Kapal yang membawa kami masih
terombang-ambing di lautan lepas, terhuyung ke kiri ke kanan, semakin
lama goyangannya semakin terasa kencang “braaaak'' kapal menabrak ombak.
Goncangannya mengagetkan kami, menyiutkan nyali, menaikkan adrenalin
disusul teriakan-teriakan kami. Masing-masing segera mengambil posisi
tidur, merebahkan badan adalah cara terbaik untuk mengurangi rasa mual.
Suasana kembali sepi hanya berdoa dan berfikir positiflah yang dapat
kami lakukan. Kapal ini sudah berlayar cukup lama, normalnya perjalanan
dari Pulau Sebesi menuju Gunung Anak Krakatau dapat ditempuh selama 2
jam. Tapi inilah alam kita tidak dapat memprediksinya. Akhirnya sampai
juga kapal ini menyentuh bibir pantai Gunung Anak Krakatau. Matahari
sudah terlihat bersinar, ada kapal kayu kecil yang siap mengevakuasi
kami menuju daratan.
Entah sejak kapan Gunung Anak Krakatau dibuka untuk tujuan wisata.
Gunung api aktif ini merupakan “Cagar Alam” harta yang tak ternilai bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai Cagar Alam hanya ada empat
tujuan yang diperbolehkan untuk menginjakkan kaki ke sini yaitu untuk
penelitian, pendidikan, pengembangan pengetahuan dan penunjang budidaya.
Untuk bisa masuk kawasan Cagar Alam ini kita harus mengantongi Surat
Izin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) dari Badan Konservasi Sumber
Daya Alam (BKSDA) Lampung, hal ini bertujuan untuk melindungi pengunjung
mengingat kawasan ini sangat berbahaya.
Sebelum melakukan pendakian kami mendapat pengarahan dari petugas,
mereka sangat ketat mengawasi pengunjung, tapi bagi mereka wisatawan
seperti kami bisa menjadi obat penghilang sepi, bayangkan setiap hari
mereka harus berada di pulau yang tak berpenghuni ini. Ya, akhirnya kami
diperbolehkan mendaki Gunung Anak Krakatau. Di jalur pendakian yang
tersedia saya berjalan cepat, berharap bisa mengabadikan puncak Gunung
Anak Krakatau sebelum dipenihi oleh para narsis. Struktur tanah berpasir
menjadikan pendakian ini berat dan licin bahkan berdebu, mendaki pagi
hari adalah waktu yang tepat untuk menghindari panasnya pasir yang kita
injak. Gundukan batu yang mengeras, sisa-sisa dari aktivitas vulkanik
gunung api, menjadikan pemandangan menarik sepanjang pendakian. Mungkin
inilah gambaran jika Gunung Anak Krakatau ini sedang meletus, ia akan
mengeluarkan api dan memuntahkan material-material yang ada di dalam
perut. Tapi pagi itu saya sedang memandang Gunung Anak Krakatau yang
sedang diam dan tertidur. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit
untuk bisa mencapai lereng Gunung Anak Krakatau, kita dilarang mendaki
sampai ke atas puncaknya. Dari atas lereng gunung itu saya bisa
memandang lautan lepas, deretan pulau-pulau yang mengelilingi Gunung
Anak Krakatau, semuanya terlihat indah. Sedangkan di puncak Gunung Anak
Krakatau terlihat kepulan asap belerang.
Puas berada di Gunung Anak Krakatau, saatnya wisata pantai dan laut.
Tak hanya Gunung Anak Krakatau yang menjadi daya tarik di Selat Sunda.
Deretan pulau-pulau kecil dengan pantai berpasir putih dan airnya yang
berwarnah hijau toska menambah pesona keindahan Selat Sunda. Yang tak
kalah menarik adalah keindahan bawah lautnya, surga bagi Penyelam.
Lagoon Cabe ada spot terbaik untuk snorkeling. Sebelum menjatuhkan diri
ke laut, Malik ketua rombongan kami berteriak “ingat teman-teman jangan
menginjak terumbu karang, butuh waktu berpuluh-puluh tahun terumbu
karang dapat tumbuh, jika kalian masih menginginkan anak cucu kita bisa
menikmatinya”. (Mulyati Asih)
Sumber: http://www.portalkbr.com/lifestyle/wisata/2542062_4310.html